Selasa, 13 September 2011

Ruh yang tidak bisa mati

Ruh yang memikul Amanat itu adalah ruh istimewa manusia (ar-ruhul khassah lil insaan). Yang kami maksudkan dengan amanat adalah penguasaan terhadap janji taklif dalam bentuk keterbukaan terhadap kemungkinan memperoleh pahala dan siksa dengan kepatuhan dan kedurhakaan. Ruh ini tidak pernah mati dan tidak pula binasa, malah justru kekal setelah mati; baik itu dalam kesenangan dan kebahagiaan ataupun dalam Jahannam dan kesengsaraan. Itulah ruh tempat ma’rifat. Pada dasarnya tanah tidak memakan tempatnya iman dan ma’rifat, seperti yang dibeberkan oleh hadis dan disaksikan oleh kesaksian-kesaksian kontemplasi. Ajaran agama melarang meneliti sifat dan karakteristik ruh tersebut, sebab yang bisa menjangkaunya hanyalah orang-orang yang mendalam ilmunya (arrasyikhuna fil-ilmi).
Bagaimana hal itu akan dituturkan atau diceritakan, padahal ruh itu memiliki karakteristik-karakteristik yang menakjubkan yang belum mampu ditangkap atau dicerna oleh sebagian besar pikiran atau salah satu lubang dari lubang-lubang neraka, sebab hubungannya dengan badan hanya berupa pemanfaatan badan sebagai instrumen pemburu pengetahuan melalui sarana jaring indera. Jadi, badan atau tubuh merupakan alat, kendaran dan jaring ruh. Kepunahan atau kebinasaan alat, kerusakan kendaraan dan jaring tidak mengharuskan rusaknya si pemburu.

Benar, jika jaring atau perangkap itu rusak sehabis berburu, maka kerusakannya (kebinasaannya) merupakan harta rampasan, sebab dia terhindar dari beban. Karena itulah, Rasulullah Saw. bersabda, “Maut itu merupakan sesuatu yang amat berharga bagi orang Mukmin.”

Jika jaring itu rusak sebelum berakhirnya pemburuan, yang terjadi adalah kerugian, rasa sesal dan duka yang amat sangat. Karena itulah, orang lalai berkata:
“Ya Tuhanku, kembalikanlah aku (ke dunia) agar aku berbuat amal yang saleh terhadap yang telah aku tinggalkan.” (Q.s. Al-Mu’minun: 99-100).

Akan tetapi, jika ia suka pada dunia, menyenanginya dan kalbunya juga mencintainya, kemudian ia juga memperindah bentuknya dari apa yang berkaitan dengan dunia, maka siksa yang menimpa padanya justru menjadi dua kali lipat: Pertama, kerugian karena habisnya masa berburu yang hanya bisa dilakukan dengan jaring-jaring tubuh. Kedua, hilangnya jaring-jaring berikut rasa cintanya terhadap jaring tersebut.
Ini merupakan salah satu asas pengetahuan tentang siksa kubur. Jika terus menyelidiki secara mendalam, Anda akan mengetahui hakikatnya secara pasti.
Barangkali Anda ingin menyelidikinya secara mendalam hingga mengetahui hakikatnya. Di sini perlu Anda ketahui, bahwa buku ini tidak mencakup hal tersebut; Anda cukup merasa puas dengan contoh-contoh kecil. Seyogyanya Anda paham bahwa maut itu adalah hal yang membinasakan tubuh. Anda tahu, bahwa rusaknya tangan adalah ketika tangan tidak lagi mematuhi Anda, padahal fisiknya masih utuh, sementara kekuatannya lumpuh. Dengan kekuatan tersebut Anda bisa memanfaatkan tangan.
Maka, Anda harus paham dan mengerti bahwa maut merupakan hancurnya kekuatan energi tubuh. Kemudian maut itu merusak Anda, tangan, kaki, mata dan seluruh indera Anda, sementara Anda sendiri tetap kekal. Yakni hakikat atau jatidiri Anda, dimana dengan jatidiri itu, Anda adalah Anda.
Sekarang Anda adalah manusia seperti dalam keadaan masih bayi, barangkali tidak satu pun dan jasad-jasad Anda itu yang melekat pada diri Anda. Semuanya telah punah, dan hal itu bisa terwujud dengan adanya makanan sebagai penggantinya. Sedangkan Anda adalah Anda, jasad Anda bukanlah jasad itu.
Andaikata Anda memiliki seorang kekasih yang sangat Anda rindukan, melalui indera-indera Anda, maka perpisahan dengan kekasih Anda itu merupakan siksa yang amat pedih.
Seluruh kelezatan dan kenikmatan dunia sangat disenangi dan dirindukan, namun tidak dapat dicapai kecuali dengan indera. Tidak ada bedanya siksaan bagi si pemabuk cinta, apakah ia dipisahkan dengan kekasihnya atau ia dibatasi oleh tirai dan dengan mencungkil biji matanya sebagai siksaan. Atau dia diculik dari kekasihnya ke sebuah tempat, hingga dia tidak dapat melihatnya. Rasa pedih yang dialaminya karena tidak dapat melihat atau memandangnya.
Orang yang mencintai harta, keluarga, perabot rumah, budak wanita dan pakaiannya, merasakan kepedihan ketika berpisah dengan semua itu. Apakah semua benda dunia itu dirampas orang atau dia sendiri dijauhkan dari benda-benda tersebut, seperti ketika hartabenda itu dipindah ke tempat lain, lalu dibangun tirai di antara dirinya dan barang-barang miliknya itu.
Mautlah yang menghancurkan Anda dan harta-benda tersebut, dia menjadi dinding antara diri Anda. Rasa siksa dan kepedihan yang menimpa Anda bergantung pada sejauhmana Anda mencintai dan menyukai barang-barang tersebut.
Maut mempertemukan Anda dengan Allah, dan memutuskan hubungan Anda dengan segenap indera yang menyibukkan dan membingungkan. Kenikmatan dan kelezatan Anda menghadap Allah bergantung pada kadar rasa cinta Anda kepada-Nya, kesenangan Anda mengingat dan menyebut-Nya. Karena itulah, Allah memberi peringatan kepada Anda, Dia berfirman dalam Hadis Qudsi, “Aku adalah bagianmu yang pasti, maka pastikan dan tekunilah bagianmu.”

Ungkapan terlengkap untuk mendeskripsikan kenikmatan dan kebahagiaan surga adalah, “Sungguh bagi mereka di dalam surga adalah apa yang mereka senangi dan mereka sukai.”
Ungkapan yang paling sempurna untuk mewakili dan mendeskripsikan siksa akhirat adalah firman Allah yang berbunyi:
“Dan dihalangi antara mereka dengan apa yang mereka ingini.” (Q.s. Saba’: 54).

Yang membuatnya lezat hanyalah selera, namun kelezatan itu muncul ketika bertemu dengan apa yang diingini, dan tak ada yang menyedihkan, kecuali selera itu pula. Kepedihan datang ketika berpisah dengan yang apa dicintai.
Sekarang Anda jangan sampai tertipu dengan menyatakan, “Jika hal ini merupakan sebab dari siksa kubur, maka akujelas bebas dan aman dari siksa tersebut, sebab tidak ada ikatan hubungan antara kalbuku dengan kenikmatan-kenikmatan duniawi.”
Hal ini tidak akan dapat Anda ketahui dengan sebenarnya, selama Anda belum membuang dunia dan keluar dari dunia sepenuhnya. Berapa banyak laki-laki menjual budak wanitanya, dengan dugaan bahwa tidak ada kaitan hati apa pun antara dirinya dengan dia. Namun, setelah budak wanita tersebut dibawa oleh si pembeli, kalbunya menyala dalam api perpisahan, dan terus berkobar. Bahkan, bisa-bisa ia bunuh diri karenanya, dengan menenggelamkan diri ke dalam sungai atau lautan, atau membakar diri pada kobaran api.
Demikian pula dengan kondisi Anda dalam kubur tentang segala hal duniawi yang disenangi oleh kalbu Anda. Karena itulah, Rasulullah Saw. bersabda, “Cintailah apa yang kamu cintai, sebab sesungguhnya kamu akan berpisah dan meninggalkannya.”

Di balik ini ada siksa yang lebih dahsyat dari hal di atas, yaitu penyesalan ketika dirinya terhalangi memandang wajah Allah Yang Maha Mulia.
Besarnya nilai yang hilang tersingkap dengan kematian, walaupun sebelum mati nilai tersebut sangat kecil menurut Anda, karena maut merupakan sebab dari ketersingkapan, ketampakan yang sebelumnya tidak tampak. Sebagaimana tidur merupakan sebab dari tersingkapnya hal-hal gaib, melalui lambang ataupun tanpa lambang.
Tidur adalah saudara kematian. Hanya saja nilainya lebih rendah. Itulah dua bentuk siksa yang berlipat ganda atas setiap orang mati, karena lebih mencintai selain Allah. Suka citanya ditujukan pada selain Allah dibanding kecintaannya kepada-Nya. Dua-duanya sangat penting, jika Anda mengetahui hakikat ruh dan keabadiannya dalam kehidupan setelah mati, serta hubungan atau kaitan-kaitannya, dan hal-hal yang kontra dan selaras naluri manusia.


By; m h rosyid

LADUNI

Dr. Yunasril Ali - Dosen UIN Jakarta
 

Sebagai makhluk yang serba ingin tahu, tiap manusia tentunya akan selalu berburu pengetahuan. Jika  pengetahuan itu umumnya diperoleh melalui proses belajar, maka ada pula yang diperoleh melalui ilmu ladunni. Menurut Dr. Yunasril Ali, dosen  yang relatif familiar dengan pandangan-pandangan tasawuf al-Ghazali dan Ibnu Arabi ini,  mereka yang senantiasa
menjaga kesucian hatinya  boleh jadi akan mendapat limpahan pengetahuan langsung dari Allah. Jenis pengetahuan inilah yang ia maksudkan dengan ilmu ladunni. Berikut petikan wawancara Cahaya Sufi dengan  pengamal tasawuf yang  beberapa tahun lalu justru pernah mengecam ilmu ladunni ini

Menurut Anda, apa yang dimaksud dengan ilmu ladunni, dan adakah ayat al-Qur’an yang menyinggung soal ini?
Dalam bahasa Arab, ladun itu artinya di sisi. Term ini terdapat  misalnya dalam surah al-Kahfi ayat 65 yang mengisahkan antara Nabi Khidir dengan Nabi Musa. Nah, dalam ayat tersebut ada perkataan wa‘allamnahu min-ladunna ‘ilma. Artinya, “Dan Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.” Atas dasar ini, maka muncullah istilah ilmu ladunni. Jadi ilmu ladunni itu adalah pengetahuan  langsung yang dikaruniakan Allah kepada manusia tertentu, tanpa melalui pengajaran atau perantaraan guru.

Apakah dalam kitab-kitab tasawuf ada uraian yang mengupas soal ilmu ladunni?
Ya, ada! Uraian yang agak panjang itu terdapat dalam kitab al-Risalah al-ladunniyah karya al-Ghazali. Selain al-Ghazali ada juga Ibnu Arabi. Penjelasan Ibnu Arabi tentang hal-hal yang berkaitan dengan ilmu ladunni ini terdapat dalam mukaddimah Futuhat al-Makiyah, tetapi uraiannya tidak serinci al-Ghazali. Sementara dalam karya-karya Ibnu Arabi lainnya, semisal dalam  Fushushul-Hikam, soal ini  hanya disinggung sedikit-sedikit.

Bagaimana pandangan al-Ghazali mengenai ilmu ladunni ini?
Begini! Ilmu itu kan pengetahuan yang diperoleh manusia. Nah, cara memperolehnya itu ada dua cara. Ada ilmu yang dicari oleh manusia ada juga ilmu yang dikaruniakan langsung oleh Allah. Dalam istilah al-Ghazali, yang diuraikan dalam kitabnya al-Risalah al-ladunniyah, yang pertama itu disebutnya ta’lim insany, yaitu ilmu yang diperoleh melalui pengajaran diantara manusia; atau   ilmu al-muktasab, yaitu ilmu yang dalam memperolehnya itu diusahakan oleh manusia. Adapun kategori yang kedua disebutnya dengan ilmu mauhub atau ilmu yang dikaruniakan langsung oleh Allah.

Kelompok yang pertama itu, itulah ilmu keseharian yang dipelajari manusia baik secara formal melalui lembaga-lembaga pendidikan maupun secara informal. Adapun kelompok ilmu yang kedua, yaitu ilmu ladunni, sebenarnya memang ada juga unsur usahanya. Hanya saja usahanya itu bersifat tidak langsung. Aspek usahanya itu tiada lain adalah melalui intensitas amal sampai sedemikian rupa, sehingga kualitas hatinya itu memang sudah layak untuk dapat menerima limpahan ilmu ladunni. Nah, ilmu ladunni itu dinamakan juga dengan ilmu mukasyafah. Sebab limpahan ilmu ladunni itu diterima manusia pada saat mengalami mukasyafah, yaitu terbukanya hijab antara hamba dengan Allah.

Lalu, bagaimana dengan pandangan Ibnu Arabi?
Pada intinya tidak berbeda dengan penjelasan al-Ghazali. Menurut Ibnu Arabi, yang muktasab itu dibagi dua, yaitu ilmul-aqli dan ilmul-ahwal. Ilmul aqli itu adalah ilmu dari hasil penalaran. Sedangkan ilmul-ahwal adalah ilmu dari hasil eksperimen atau penelitian empiris. Adapun istilah Ibnu Arabi terhadap ilmu mauhub atau ilmu ladunni  tadi adalah ilmul-asrar. Disitilahkan dengan ilmul-asrar karena cara mendapatkannya itu adalah berupa karunia dari Allah secara langsung. Kecuali itu, ilmu asrar ini tidak semua harus disampaikan kepada ummat. Jadi dikatakan ilmu asrar karena ada bagian-bagian yang perlu dirahasiakan dari ummat Islam pada umumnya.

Jika demikian, apakah ilmu ladunni ini hanya otoritas kaum sufi/wali saja?
Kalau kita baca uraian-uraian dari kaum sufi ada kesan seperti itu. Menurut Ibnu Arabi misalnya, yang bisa mendapatkan ilmu ladunni itu hanyalah orang-orang yang hatinya sudah sangat suci. Analoginya begini… Ilmu itu kan biasa diibaratkan dengan nur atau cahaya. Nah, dengan demikian limpahan cahaya itu sangat bergantung dengan kesiapan penerima cahayanya. Dalam konteks ini, Ibnu Arabi menyinggung soal isti’dad, yaitu kesiapan atau kelayakan kualitas batin untuk dapat menerima luapan cahaya tadi. Untuk dapat menerima anugerah ilmu dari yang Maha Suci kan kualitas hati penerimanya juga mesti suci pula. Adapun orang-orang yang sudah jelas-jelas sangat suci hatinya itu tiada lain adalah para nabi, para wali dan para sufi. Hanya saja dalam konteks  nabi dan rasul  itu disebut nubuwwah dan risalah, dan apa yang diberikan Allah kepadanya disebut dengan wahyu. Sedangkan dalam konteks sufi atau wali disebut walayah atau kewalian, dan apa yang diberikan Allah kepadanya disebut dengan ilmu ladunni.



BY;Rosyid